(FST – Warta Unair). Kebudayaan Indonesia tentu tidak asing dengan ritual susuk emas.
Susuk sendiri dimaknai sebagai suatu cara memasukkan benda asing ke
dalam tubuh seseorang secara spiritual. Susuk dilakukan oleh mereka yang
ingin mendapatkan kelebihan, entah kekuatan, kecantikan, pengasihan,
dan lain-lain. Berbagai berbagai medium yang dapat digunakan sebagai
susuk, antara lain emas, perak, dan berlian. Sejak dahulu kala susuk
emas diyakini oleh masyarakat dapat menjadikan tubuh orang yang disusuk
akan menjadi awet muda dan cantik.
Ternyata susuk emas ini tidak hanya di Indonesia, fakta ini
diungkapkan oleh Dr. Titik Taufikurohmah, S.Si., M.Si., mahasiswa S3
Universitas Airlangga yang baru saja meraih gelar Doktor pada Rabu
(13/2) lalu. Menurut Titik, di Cina dan Mesir juga ditemukan catatan
bahwa masyarakatnya kala itu menggunakan susuk emas.
Hanya saja dengan
cara yang berbeda, “Di Cina, emas dihancurkan hingga berbentuk serbuk
kemudian ditambahkan ke dalam bubur yang hanya dikonsumsi oleh keluarga
kerajaan saja. Sementara di Mesir, serbuk emas digunakan sebagai lulur
atau masker. Di Indonesia sendiri, emas dibentuk menjadi
batangan-batangan kecil seperti jarum kemudia dimasukkan ke dalam
kulit,” jelas peneliti yang juga Koordinator PI-UMKM Daerah Wilayah
Surabaya.
Sebagai peneliti, Titik tentu saja tidak begitu saja percaya dengan
hal-hal magis yang menyertai penanaman susuk emas di tubuh manusia, Ia
berkeyakinan pasti ada penjelasan ilmiahnya tentang semua itu. Keyakinan
itulah yang kemudian membawa Titik ke dalam penelitian tentang manfaat
emas dalam dunia kecantikan.
Perjalanan penelitiannya ini berawal sejak tahun 2003 saat ia
mengambil studi S2 di Universitas Airlangga, saat itu Titik meneliti
tentang Sun Screen yang berasal dari kencur. Penelitiannya terus berkembang hingga tahun 2008, ketika itu ia meneliti proses sintesis Sun Screen tersebut hingga kemudian berkembang kembali pada kosmeting anti aging.
Dalam perjalanan penelitiannya tersebut, peneliti yang juga merupakan
Mitra Bestari BPPT-Ristek ini juga menemukan fakta bahwa emas dapat
mengoptimalisasikan aktifitas sun screen.
“Emas dapat meningkatkan serapan pada wilayah UV sehingga meningkatkan aktifitas sun screen. Hal ini telah saya teliti dengan menggunakan uji in vitro menggunakan alat dan in vivo dengan
mencit. Dalam penelitian tersebut salah satu aspek yang saya amati
adalah kuantitas kolagen dalam persen luas area,” papar ibu dari lima
orang anak ini.
Berbekal data dan fakta yang ia temukan, Titik mulai mengembangkan
penelitian “susuk emas”nya. Emas yang digunakan ibu yang bertempat
tinggal di Gunung Anyar Surabaya ini merupakan emas murni 24 karat,
karena menurut Titik jika emas yang digunakan terkandung bahan campuran
lain akan membahayakan. Batangan emas kemudian diubah ke dalam ukuran
mikropartikel.
“Emas dalam ukuran mikropartikel ini nantinya akan terliberasi dalam
satuan-satuan kecil yang disebut cluster. Cluster ini berukuran
nanometer, itu mengapa saya menamakan produk temuan saya ini NANOGOLD.
Dari hasil uji coba yang telah dilakukan kepada mencit, emas dalam
bentuk mikropartikel yang dimasukkan ke dalam tubuh nantinya akan
terliberasi karena suasana kimiawi sel dalam tubuh. Sel yang diberikan
nanopartikel emas akan terlihat berwarna ungu. “Saat hewan uji dipapar
mercury tanpa nanopartikel emas jumlah sel dan kolagennya menyusut,
banyak yang mati. Hal ini sama dengan seseorang yang terus menerus
terpapar mercury dari kosmetik atau lainnya, kulitnya akan cenderung
tidak kencang karena serabut kolagen banyak yang hilang dan digantikan
oleh sel lemak. Sementara fungsi nanopartikel emas adalah mengembalikan
jumlah dan fungsi kolagen itu kembali normal,” jelas Titik.
Terkait penelitiannya ini, Titik melihat fenomena kosmetik yang
mengandung mercury banyak sekali ditemukan di tengah-tengah masyarakat.
Menurutnya, BPOM telah melakukan investigasi 5 dari 6 kosmetik yang
berasal dari klinik-klinik besar di Surabaya mengandung Mercury.
“Selama ini banyak orang yang menemui saya dengan kondisi kulit yang sudah rebound. Rebound sendiri
adalah kondisi munculnya flek hitam, jerawat, dan sel lemak yang
menumpuk di dalam kulit. Hal ini biasa terjadi pada mereka yang
menghentikan penggunaan kosmetik perawatan kulit yang mengandung
mercury, banyak dijumpai pada ibu hamil karena dokter melarang
penggunaan kosmetik. Karena Mercury itu berfungsi menekan penciptaan sel
pigmen yang terjadi pada melanosid, selain itu juga mercury berfungsi
sebagai bleaching karena dia mampu menghilangkan noda di kulit
karena melakukan oksidasi besar-besaran. Efek dari kedua fungsi tersebut
adalah kulit menjadi putih dalam seketika. Namun, begitu ada
kesempatan sel pigmen tumbuh saat kita tidak menggunakan produk lagi,
maka efek rebound yang terjadi,” papar Titik.
Di sinilah fungsi yang bisa diambil oleh nanopartikel emas, ia akan
mengembalikan kembali fungsi kolagen, sel pigmen, dan lain-lain menjadi
normal kembali. Menurut Titik, seseorang menggunakan nanopartikel emas
wajahnya tidak akan menjadi putih seketika, perlu waktu untuk
mengembalikan kondisi kulit menjadi normal. “Efek pemakaian emas ini
tidak seketika dan memang bukan memutihkan, melainkan mengembalikan
kulit sebagaimana aslinya. Jika warna aslinya sawo matang ya sawo
matang,” tutur peneliti yang juga dosen Kimia Unesa ini.
Di pasaran terdapat banyak sekali produk yang dikatakan mengandung
emas dengan harga yang mahal. Menurut Titik hal ini disebabkan, emas
yang digunakan bukan merupakan nanomaterial tapi masih menggunakan
mikropartikel. Jadi, 1 gram emas hanya menghasilkan 1 gram mikropartikel
emas. “Wajar jika harganya mahal, tapi produk yang saya temukan
menggunakan nanomaterial yang berukuran 20 ppm. Padahal, 1 gram emas itu
saja dapat menghasilkan 1000 ppm, jadi harga produk yang menggunakan
nanomaterial akan jauh lebih murah,” sergah peneliti yang lahir 13 April
1968 ini.
Hasil penelitian yang telah diujikan pada hewan uji menunjukkan
beberapa efek dari penggunaan nanopartikel emas ini, antara lain dari
uji aktifitas emas ternyata mampu meredam radikal bebas dengan kata lain
berfungsi sebagai antioksidan. Lantas apa bedanya antioksidan yang
dimiliki oleh emas dengan antioksidan yang umum diketahui oleh
masyarakat?
Menurut istri dari Sutiyono ini, antioksidan yang umum seperti
vitamin C dan E itu gampang rusak. Sekali vitamin tersebut bertugas
menyerap radikal bebas kemudian teroksidasi, maka langsung rusak dan
tidak dapat aktif kembali. “Bahkan jika kita membeli krim wajah di
pasaran, begitu dibuka maka vitamin C dan E akan teroksidasi sehingga
tidak bisa berfungsi maksimal,” tuturnya.
Hal ini berbeda dengan nanopartikel emas, emas dalam hal ini bersifat
katalis sehingga ketika teroksidasi akan langsung tereduksi kembali.
Sehingga tidak ada rusaknya. Bahkan menurut penelitian yang telah
dilakukan Titik, membuktikan bahwa kemampuan emas sebagai antioksidan 3x
lebih baik dari Vitamin C.
Melalui penelitiannya ini, Titik berharap masyarakat menjadi lebih
teredukasi bahwa cantik itu tidak harus putih. Terlebih jika
kecantikannya itu didapat secara instan. Karena paradigma dalam
masyarakat itulah menjadikan celah banyaknya oknum yang berbuat curang
dengan menambahkan zat berbahaya di dalam kosmetik. “Pemerintah harus
lebih aware terhadap pengurusan ijin BPOM. Karena di luar sana
banyak kosmetik yang tidak mempunyai sertifikasi BPOM atau yang
mempunyai sertifikasi tetapi tetap mencampurkan bahan-bahan berbahaya.
Sementara produsen kosmetik yang menggunakan bahan alami menjadi terkena
imbasnya karena perijinan yang sulit untuk mendapat sertifikasi BPOM,”
tuturnya.
Ia sendiri hingga kini masih berjuang mendapatkan sertifikasi BPOM
untuk produk NANOGOLDnya. Meskipun begitu sejak 2011-2012, kosmetik yang
ditemukannya sudah dipasarkan kepada kolega, mahasiswa, teman, serta
saudara terdekatnya. Siapa sangka dalam kurun waktu satu tahun saja,
omzet penjualan NANOGOLD bisa mencapai 200 juta. Produk yang ia pasarkan
berupa krim wajah, serum, dan sabun alami pun laris manis diserbu
customer yang sebelumnya menjadi korban kosmetik bermecury.
“Saya hanya ingin seseorang yang sebelumnya terkena imbas buruk dari
kosmetik bermecury bisa kembali normal kulitnya. Yang lebih penting lagi
kepercayaan dirinya kembali,” tukasnya.
Dosen yang juga peneliti ini sepertinya tidak pernah memiliki rasa lelah. Selain harus mengurus 5 orang anaknya, menjadi dosen, melakukan penyuluhan dan penelitian, Titik juga berhasil mengukir prestasi lain karena mampu menerbitkan penelitiannya di jurnal internasional berturut-turut selama 3 tahun. Kali pertama di tahun 2010, Titik membutuhkan waktu 6 bulan proses untuk review dan revisi jurnal. Kali kedua dan ketiga di tahun 2011 dan 2012, “Awalnya ragu tapi akhirnya modal nekat, mengirimkan penelitian ke jurnal internasional itu harus gigih, jangan menyerah jika banyak sekali revisi yang harus diperbaiki. Jika kita sudah mengetahui gaya selingkungnya, akan lebih mudah, di jurnal internasional saya yang terakhir hanya membutuhkan waktu dua bulan proses hingga terbit,” tandasnya.